Oleh : Aswan Jaya
Rukyat dan Hisab merupakan dua metode yang sering digunakan umat Islam untuk menentukan awal bulan pada kalender Hijriah. Dua metode ini sering sekali diperbincangkan terutama pada saat menentukan awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal. Metode Rukyat adalah mengamati dan melihat hilal yang tampak di ufuk barat, dilakukan menjelang terbenamnya Matahari. Aktivitas Rukyat dilakukakan sesaat setelah Matahari berada pada waktu ijtimak, posisi linier antara Matahari-Bulan-Bumi dalam satu garis lurus, hampir mirip posisi gerhana Matahari. Sedangkan motede Hisab adalah perhitungan dengan ilmu (astronomi) untuk menentukan keberadaan bulan baru/sabit dimulainya awal bulan. Dengan metode ini posisi Matahari dan Bulan terhadap Bumi bisa diperkirakan secara presisi tanpa perlu melihat bulan baru sebagai penanda awal bulan.
Kendatipun sering terjadi perbedaan dalam memutuskan awal bulan dari dua metode ini, sehingga memunculkan “perselisihan”, namun keputusan keduanya syah karena memiliki dalil yang cukup kuat dan sahih. “Perselisihan” Rukyat dan Hisab memang sudah berlangsung relatif lama, tetapi seiring dengan perkembangan tekhnologi dalam ilmu astronomi maka kedua metode ini sudah bisa disetarakan, keduanya menjadi sama penting dan bisa saling mengisi. Rukyat diperlukan dan itu menjadi dasar atau divulasi dalam perhitungan astronomi. Hisab dalam astronomi diperlukan supaya rukyatnya bisa lebih akurat karena saat ini kemungkinan salah dalam rukyat sangat terbuka sekali. Demikian menurut Prof. Dr. Thomas Djamaluddin.
NU dan Muhammadiyah
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, telah terlekatkan kepada keduanya untuk mewakili dua metode penentuan awal bulan tersebut. NU identik dengan metode rukyat dan Muhammadiyah diidentikan dengan metode hisab. Keputusan awal bulan yang disampaikan oleh kedua ormas Islam ini menjadi rujukan bagi hampir 90% umat Islam di Indonesia. Hal ini dimungkinkan terjadi karena memang kedua ormas ini memiliki keanggotaan/pengikut yang sangat besar.
Mohammad Sobary dalam bukunya berjudul “NU DAN KEINDONESIAAN” (2010;107) menuliskan bahwa KH. Hasyim Muzadi pernah menyatakan jumlah warga NU sekitar 60 juta. Sementara, Gus Dur menaksir lebih banyak; labih dari 50% orang Indonesia adalah warga NU, jadi sekitar 120 juta. Survey IndoBarometer menyebutkan sekitar 75% mengaku warga Nahdliyin, berarti berjumlah 143 juta pada tahun 2000.
Alvara Research Center juga telah melakukan estimasi tentang seberapa besar dukungan umat Islam Indonesia terhadap NU dan Muhammadiyah. Berangkat dari data BPS tentang populasi umat Islam, Alvara Research Center dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa jumlah penduduk Muslim yang berafiliasi dengan NU berjumlah 79,04 juta jiwa dan yang berafiliasi dengan Muhammadiyah berjumlah 22,46 juta jiwa. Total 101,5 juta jiwa umat Islam Indonesia berafiliasi kepada kedua ormas tersebut dan jumlah ini akan bertambah bila menggunakan taksiran Gus Dur dan atau hasil dari Survei IndoBarometer.
Jumlah umat Islam yang berafiliasi kepada kedua ormas tersebut bila diletakkan di atas kalkulasi politik menjelang pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019, sangat signifikan dapat merubah konstelasi politik Indonesia saat mereka dapat mensepakti sebuah koalisi politik antara rukyat dan hisab untuk mengusung satu pasangan calon presiden. Koalisi rukyat hisab sesungguhnya tidak hanya termaknakan pada koalisi antar NU dan Muhammadiyah saja. Koalisi ini juga dapat diperluas dengan masuknya dukungan dari berbagai ormas Islam lainnya yang juga menggunakan metode rukyat atau hisab dalam menentukan awal bulan di tahun Hijriyah.
Koalisi rukyat hisab akan menjadi panggung politik antara kaum tua dan muda, tradisional dan modernis/reformis. Kedua komunitas keagamaan dengan berbagai latar belakang disiplin ilmu ini akan saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya. Melepaskan berbagai perbedaan terhadap cara pandang tentang berbagai teknis pelaksanaan ibadah. Koalisi ini akan mendorong ormas-ormas Islam terbesar di Indonesia untuk saling bahu membahu untuk meraih kemenangan. Terwujudnya koalisi rukyat hisab merupakan lonceng bersatunya umat Islam di Indonesia.
PKB PAN + PPP
Persoalannya, koalisi rukyat hisab tidak memiliki legitimasi politik untuk mengusung satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang. Namun koalisi rukyat hisab memiliki investasi politik yang sangat besar di beberapa partai politik peserta Pemilu 2014 yang berbasis pemilih Islam, yaitu PKB, PAN dan PPP.
Sebagaimana yang diketahui bahwa pemilih dan pimpinan ketiga partai politik ini mayoritas juga merupakan pengikut dari ormas-ormas Islam yang ada di koalisi rukyat hisab. PKB, adalah partai politik yang dilahirkan langsung dari rahim Nahdlatul Ulama. Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar atau biasa disapa Cak Imin merupakan kader sekaligus bagian dari keluarga pendiri NU. Demikian juga dengan PAN, sebuah partai reformis yang diinisiasi dan dideklarasikan oleh Amin Rais, salah satu tokoh sentral di Muhammadiyah. Ketua Umum PAN saat ini, Zulkifli Hasan adalah kader terbaik yang dimiliki oleh Muhammadiyah saat ini. PPP adalah partai yang berdiri karena fusi dari empat partai politik Islam peserta Pemilu tahun 1955 yang salah satunya adalah Nahdlatul Ulama. Meskipun saat ini sedang dilanda dualisme kepemimpinan, masing-masing Ketua Umumnya, Djan Faridz dan Romahurmuzy adalah kader-kader terbaik NU. Yang mana pun akhirnya menjadi peserta Pemilu 2019, Ketua Umumnya tetap berafiliasi kepada NU.
Mengacu kepada Presidential Threshold (PT) sebesar 20% dari hasil Pemilu tahun 2014 yang telah ditetapkan oleh DPR RI beberapa waktu lalu, maka peluang koalisi rukyat hisab mengusung satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden melalui PKB PAN + PPP merupakan sebuah keniscayaan. Masing-masing partai tersebut memperoeh suara pada Pemilu 2014 sebesar : PKB (11.298.950 suara/9,04%), PAN (9.481.621 suara/7,59% dan PPP (8.157.488 suara/6,53%). Total 28.938.059 suara atau 23,16%. Lebih dari cukup untuk mengusung satu pasangan calon di Pilpres 2019.
Keuntungan Koalisi
Bermodalkan koalisi tiga partai politik yang pemimpin dan konstuennya berafiliasi kepada koalisi rukyat hisab dalam arena politik Pilpres, tentunya harus dihitung keuntungan dan kelemahan dari koalisi tersebut.
Setidaknya ada lima keuntungan yang dapat diambil dari proses politik ini, pertama, semangat gerakan politik umat Islam yang dipicu oleh Pilkada DKI masih sangat dirasakan di seluruh pelosok negeri. Kedua, koalisi rukyat hisab dapat menjadi momentum konsolidasi politik untuk menyatukan umat Islam di Indonesia dalam satu kesatuan politik demi tercapainya cita-cita dalam pembukaan UUD 1945 dan tegaknya semangat PANCASILA sebagaimana mestinya.
Ketiga, koalisi rukyat hisab yang merupakan gabungan kekuatan Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan dapat dijadikan barometer untuk membuktikan bahwa benar umat Islam mayoritas di Indonesia, bahwa benar gerakan politik Islam di Indonesia menginginkan persatuan dan kebersamaan.
Keempat, koalisi rukyat hisab diharapkan dapat mengkonsolidasikan kelompok-kelompok reaksioner, konservatif dan bahkan kelompok fundamentalis. Seluruhnya masuk dalam satu semangat, membangun Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.
Kelima, Pemilu serentak antara Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden tentunya sangat memberikan peluang bagi ketiga partai politik pengusung koalisi rukyat hisab untuk memanen suara di tengah-tengah pemilih Islam.
Selain ada beberapa keuntungan dari koalisi ini, tidak menutup ada berbagai kelemahan, pertama, belum ada peristiwa politik di Indonesia yang dapat menjadi contoh terhadap koalisi rukyat hisab ini. Sehingga membutuhkan waktu yang relatif panjang dalam menyatukan visi demi tercapainya kesepakatan untuk berkoalisi.
Kedua, pemilihan Presiden langsung yang bersamaan dengan Pemilihan Legislatif tentunya memerlukan logistik dan akomodasi yang cukup besar. Apalagi harus berkompetisi dengan pasangan calon Presiden lain yang salah satunya calon Petahana. Kemampuan koalisi rukyat hisab dalam mengkonsolidasikan akomodasi dan logistik tentunya tidak sekuat pasangan calon lain. Tapi pada titik inilah, kesolidan umat Islam dengan semangat sedekahnya akan dibuktikan.
Ketiga, ego. Ego ketokohan, ego intlektual dan ego politik dari masing-masing pemimpin di antara koalisi ini akan menjadi hambatan yang terlebih dahulu harus dilalui oleh masing-masing pemangku kepentingan. Dengan demikian, koalisi ini akan menjadi keniscayaan.(Penulis adalah Pengamat Sosial dan Politik)